“Yang harus diadili itu kecurangan, jangan adili selera
pasar” (hzm)
Boleh jadi Bursa Efek Indonesia (BEI) memang lagi
“ketiban sial”. Selang beberapa hari setelah DGIK (PT. Nusa Konstruksi
Injiniring Tbk) ditetapkan sebagai tersangka korupsi, kini giliran AISA (PT.
Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk) dinyatakan pemerintah mengoplos beras subsidi
menjadi beras premium, melakukan miss-selling,
mencurangi konsumen dengan menjual produk dengan kualitas lebih rendah dari
yang tertera pada label kemasan.
Dalam kedua peristiwa itu, yang paling dirugikan
adalah para pemegang saham ritel. Saham DGIK turun 31% sebelum dihentikan
perdagangannya oleh BEI, pada hari Kamis minggu lalu. Saham AISA anjlok 25%
pada hari Jum’at 21 Juli 2017, setelah pada malam sebelumnya Kapolri dan Mentan
datang ke (baca: menggerebek) Gudang PT. Indo Beras Utama (IBU), anak
perusahaan AISA, di Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat, menyegel gudang. Esok
harinya Kemendag membekukan aktivitas IBU. Saham tersebut, akan turun lebih
tajam seandainya tidak ada tanggul pembatas harga yang ditetapkan oleh BEI.
Bagaimana hukum dan keadilan akan memberikan
perlindungan kepada pemegang saham ritel yang tidak berdosa, yang menjadi
korban, atau dikorbankan “permainan politik tingkat tinggi” ini, nanti kita simak dan saksikan bersama.
Celetukan ini, seperti biasanya, hanya ingin mengajak masyarakat berakal sehat.
Dua peristiwa itu memuat banyak kontroversi dan menyulut
polemik ramai dan panjang. Beras, di Indonesia, memang merupakan produk yang
paling pelik dan paling rumit tata niaganya. Pertama, beras bukan sekedar
produk ekonomis, dia juga produk sosial dan produk politik. Beras menyangkut
hajat hidup orang banyak, bahkan tolok ukur kualitas hidup kaum marjinal,
berperan penting dalam kalkulasi angka inflasi, komoditas politik yang bisa
menentukan tegak runtuhnya sebuah kekuasaan.
Kedua, beras dihadapkan pada dilema yang pekat. Kalau
harganya “terlalu” murah, maka sekian juta petani akan terpuruk dalam
kemiskinan turun temurun. Kalau harganya terlalu mahal, sekian juta kaum
marjinal tak mampu membeli beras. Pemerintah menginginkan harganya stabil, para
pedagang perantara melihat potensi marjin keuntungan yang sangat lukratif dalam
tata niaga. Karena berbagai kendala yang berlapis, lingkaran setan ini tak
mampu ditembus.
Ketiga, tata niaga yang tidak tertata. Statistik di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa petani memperoleh rata-rata 73% dari harga
yang dibayar konsumen akhir. Di Indonesia, petani padi hanya memperoleh kurang
dari 40% dari harga yang dibayar konsumen akhir. Akibatnya ya itu tadi, petani
tetap tinggal gurem, rakyat marjinal makan nasi aking, para pedagang perantara
berkipas kipas dengan marjin keuntungan yang “wah”. Kalau pemerintah mau
stabilitas, tugaskan Bulog masuk secara total dalam tata-niaga beras, mulai
dari membeli gabah petani sampai distribusi ke konsumen rumah tangga. Targetnya
jelas: intermediaries cost ditekan
serendah rendahnya, sehingga petani mendapat marjin hasil yang lebih tinggi dan masyarakat marjinal dapat
membeli beras dengan harga yang lebih terjangkau. Bulog tidak mau dan tidak
mampu. Pemerintah tidak memiliki buffer
funds yang cukup untuk misi semacam itu.
Kasus AISA, menurut hemat saya, merupakan produk dari
kerumitan persoalan beras. Kekacauan persepsi dari berbagai pihak tentang
bagaimana tata niaga beras hendak diatur. Saya hanya memiliki informasi dari
media massa tentang peristiwa itu. Dan saya ingin membuat beberapa catatan
berdasar infoormasi yang terbatas itu.
Tuduhan pertama
yang terlontar kepada AISA adalah membeli beras subsidi dengan harga murah,
untuk kemudian dikemas dalam kemasan yang diberi label sebagai beras premium
dan dijual dengan harga tinggi. Pertanyaan spontan yang muncul di kepala saya
adalah: Mengapa beras subsidi yang ditujukan untuk orang orang yang berhak
menerima subsidi bisa dijual ke perusahaan? Siapa penjual dan pengedarnya?
Mengambil analogi narkotika, bukankah pengedar melakukan pelanggaran yang lebih
besar ketimbang pemakai? Mengapa penjual / pengedar itu tidak ditangkap?
Saya sdudah membaca tanggapan resmi yang dikeluarkan
oleh manajemen AISA dalam suratnya kepada BEI tanggal 21 Juli 2017, yang menyatakan bahwa dalam memproduksi beras
berlabel, IBU membeli gabah dari petani dan beras dari mitra penggilingan lokal
dan sama sekali tidak membeli atau menggunakan beras subsidi yang ditujukan
untuk program Beras Sejahtera BULOG atau bentuk bantuan bencana lainnya
Pertanyaan kedua: Apa betul beras itu sekedar ganti kemasan,
atau mengalami proses lebih lanjut, semisal penyortiran, pencampuran, pemolesan,
pemutihan, pemberian pewangi, dll? Upaya meningkatkan nilai adalah esensi
kegiatan produksi. Proses semacam itu membutuhkan investasi dan biaya. Untuk
menilai apakah IBU & AISA mengambil
marjin keuntungan terlalu tinggi memerlukan kajian terhadap biaya yang
dikeluarkan dalam proses penambahan nilai tersebut. Dari segi pisik saja (tanpa
mempersoalkan komposisi kimiawi) beras yang bagus itu tentu rasanya enak, pulen, putih tanpa polesan
kimia, berbau harum, tidak patah apalagi hancur dan tidak mudah basi. Berapa
investasi dan biaya yang dikeluarkan untuk proses demikian itu?
Yang harus menjadi juri dalam menentukan apakah suatu produk
yang diperdagangkan kemahalan atau kemurahan adalah konsumen!. Kapolri dan
Mentan tidak berhak mewakili konsumen untuk menyatakan beras premium itu
kemahalan. Menyangkut urusan selera, apalagi indera pengecap, tidak mungkin ada
kecurangan yang bertahan sekian lama. Kalau kita masuk ke restoran lalu
dihidangkan nasi yang tidak enak, maka tidak akan ada kunjungan kedua ke restoran
tersebut. Apalagi beras Ayam Jago dan Maknyus, Juni lalu meraih penghargaan superbrand. Penghargaan seperti itu,
tentu sangat mempertimbangkan opini konsumen, kecuali penghargaan itu cuma sekedar
“ecek-ecek”.
Beras premium itu beredar terbatas di kalangan “konsumen
premium” pula. Oleh karena itu pernyataan bahwa pengoplosan beras dimotivasi
oleh keinginan melemahkan ketahanan bangsa, selain terlalu jauh, juga sangat
berbahaya.
Kabareskrim Polri kemudian melontarkan dua tuduhan. Pertama
IBU membeli gabah dari petani pada harga lebih mahal dari HPP Rp 3.700, per kg,
dan itu merupakan pelanggaran (Kompas.com 21 Juli 2017 pukul 18.13). Statement
ini membuat persoalan menjadi semakin blur
dan akal sehat menjadi sakit. Tuduhan awal, IBU membeli beras subsidi entah
dari siapa, lalu sekarang tuduhan membeli gabah terlalu mahal. Masa sih polisi
tidak tahu perbedaan antara beras dan gabah? Lalu HPP itu tujuannya agar petani
mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Kalau ada pengusaha yang bersedia
membeli pada harga yang lebih tinggi dari HPP, seharusnya pemerintah berterima
kasih. Kalau banyak pengusaha seperti IBU, maka ketentuan HPP tidak lagi
diperlukan.
Tuduhan lain lagi terkait perbedaan komposisi kandungan
protein, lemak dan kimiawi lain dalam “beras premium” dengan yang tertera pada
karung kemasan. Persoalan mudah yang bisa diselesaikan dengan menunjuk assayer
independen untuk megujinya. Kalau memang terbukti terjadi perbedaan yang
signifikan, manajemen IBU sangat pantas menerima ganjaran, tanpa perlu
menghentikan aktivitas perusahaan. Menghukum pelanggaran tidak harus dilakukan
dengan mengerdilkan aktivitas ekonomi.
Kita tak akan membuat jernih air dengan cara mengaduk
aduknya
Hasan Zein Mahmud, Instruktur pada LP3M INVESTA