Dalam konsepsi saya selama ini, harga batu bara berkorelasi
positif dengan harga minyak bumi. Saya yakin saya tidak sendiri. Pernah saya
baca seorang pakar menyatakan bahwa harga minyak bumi (spot WTI di Nymex, New
York Mercantile Exchange) per barrel, mendekati harga spot batu bara di
Newcastle per ton dikurangi US$ 40.
Namun pengamatan selama dua bulan paling belakangan
menjungkir balikkan konsepsi yang saya pelihara sekian lama. Harga batu bara
dan minyak bumi, selama periode dua bulan belakangan, berkorelasi negatif,
bergerak berlawanan arah. Harga batu bara naik justru pada saat harga minyak
bumi turun, dan sebaliknya. Bahkan selama seminggu paling akhir, 3 – 7 Juli,
ketika harga WTI turun 4,26% dari $ 47,07 per barrel (pb) pada 3 Juli menjadi $
44,23 pb pada 7 juli, harga batu bara justeru naik terus menerus selama lima
hari berturut turut, dan ditutup pada $ 82,55 per ton untuk kontak bulan
berjalan (LQN17) di Newcastle.
Fakta itu juga menyadarkan saya bahwa minyak bumi bukan
substitusi yang “dekat” dengan batu bara, terutama bila bicara kepentingan
pembangkit listrik, yang hingga saat ini masih didominasi oleh penggunaan batu
bara sebagai sumber energi. Gas alam yang barangkali merupakan sustitusi lebih
dekat terhadap batu bara, harganya juga tak berkorelasi positif dengan harga
batu bara, setidaknya selama periode year to date (YTD). Mengganti sumber energi di suatu
pembangkit, walau sesama energi fosil, nampaknya bukan suatu yang gampang
dilakukan, baik secara teknis maupun ekonomis.
Dari hasil cuplik sana sini, saya berkesimpulan bahwa harga
batu bara ditentukan oleh aktivitas sektor energi di tiga negara: India, USA
dan Cina. Tiga negara itu menghasilkan 2/3 batu bara dunia, sekaligus konsumen
terbesar dunia. Produksi ketiga negara itu 5M17 mencapai 121 juta ton, naik 6% year on year (YOY). Selama periode tersebut, produksi China naik 4%, bandingkan dengan
penurunan produksi 8% selama periode yang sama tahun lalu. Kini 100 tambang
kecil yang ditutup tahun lalu, sebagian dibuka kembali.
Batu bara memang
selalu berhadapan dengan dilema. Pada satu sisi merupakan sumber energi
terbesar bagi pengadaan listerik dunia, pada sisi lain menghadapi tekanan dari
upaya pelestarian lingkungan, pengurangan emisi rumah kaca. Amerika Serikat,
yang sebelum naiknya Trump mengkampanyekan gerakan coal war, kini nampaknya melonggarkan sikapnya. Bisa dilihat dari
keluarnya AS dari Perjanjian Paris (Paris Climate Accord 2015). Sikap ini
berpengaruh langsung terhadap produksi batu bara AS. Produksi negara ini selama
lima bulan pertama 2017 naik 19%. Produksi di negara negara yang kaya batu bara
seperti Wyoming, Pennsylvania dan West Virginia meningkat sangat tajam.
Walaupun terjadi pembalikan
trend produksi batu bara di AS, namun dalam jangka panjang pengurangan produksi
dan konsumsi batu bara pasti akan terjadi. Selain semakin banyak yang menantang
kebijakan Trump, perusahaan utilitas yang telah menamkan dana utk mengembangkan
energi alternatif tidak akan menghentikan upaya mereka untuk kembali ke batu
bara.
China dan India juga merupakan importir. China sebagai
konsumen terbesar, menyedot separo produksi batu bara dunia. Kalau
program 35 Giga Watt (GW) di Indonesia, 25 GW akan berasal dari PLTU, kondisi serupa terjadi di India. Program electricity
for the poor di India, menyasar 260 juta penduduk yang masih hidup tanpa
listerik. Ditambah permintaan dari industri yang bertumbuh pesat, kebutuhan
listerik di India sangat besar. Saat ini 70% pembangkit listerik di negara ini
menggunakan batu bara. As far as India is
concern, the use of coal in power plants will continue to grow.
China memainkan
peran yang paling menentukan dalam gerakan harga batu bara. Untuk pembangkit
tenaga listerik, batu bara masih merupakan sumber energi terbesar. Cina
membutuhkan lebih dari 300 juta ton batu bara setiap kwartal. Sensitivitas
harga batu bara terhadap situasi di China bisa disimak dari beberpa peristiwa
mutakhir.
Ketika Cina menutup
sebagian tambang tamnbang batu bara kecil serta melarang pelabuhan pelabuhan
kecil, yang umumnya dikelola oleh provinsi, untuk menjadi pintu masuk impor
batu bara, harga di Newcastle dan
Rotterdam pada hari berikutnya naik lebih dari 1%. Ketika Sungai Yangtze meluap
di Cina Selatan, minggu lalu, menghancurkan 750.000 ha lahan pertanian di
sepanjang aliran sungai, menghambat transportasi air, sebagian dari 14 GW
hydropower berhenti beroperasi atau menurunkan kapasitasnya. Harga Newcastle
naik hampir 3%! .
India dan China tetap mendukung Perjanjian Paris. Dua negara
itu menghasilkan hampir separo emisi rumah kaca dari pembakaran batu bara.
Namun mereka juga bertekad untuk menjadi pemimpin dalam memerangi perubahan
iklim akibat emisi karbon dioksida. Cina mencanangkan tekadnya untuk
menghentikan pengguanaan batu bara pada 2030.
Untuk membuktikan tekadnya, Cina kini memproklamirkan dirinya
sebagai negara yang paling serius dalam mengembangkan energi terbarukan. Negara
itu menyisihkan anggaran sebesar US$ 360 miliar hingga tahun 2020, untuk projek
tersebut. Saat ini China menghasilkan 11 % energi yang berasal dari sumber daya
non fosil.
China juga telah
mengembangkan listrik tenaga surya. Proyek yang mereka sebut sebagai “proyek
panda” – hamparan photovoltaics
pada areal ratusan herktar mereka desain seperti panda – tersebut ditargetkan menghasilkan
3,2 miliar kilowatt per jam energi surya, satu dekade mendatang. Target
tersebut sekaligus akan mengurangi penggunaan batu bara sekian juta ton dan
mengurangi emisi karbon hingga 2,74 juta ton (the independent 7 Juli). Rencana itu menempatkan China sebagai
produsen energi solar terbesar di dunia, mencapai 77,42 GW pada 2016, dengan
target 110 GW pada 2020.
Upaya mengurangi
ketergantungan sumber energi terhadap batu bara membutuhkan anggaran yang
besar, upaya serius dan waktu yang panjang. Capaian spektakuler Cina dalam membangun
listerik tenaga surya di tahun 2016 itu hanya mampu memasok 1% dari total kebutuhan
listerik China. Sementara di bagian dunia lain, beberapa negara Asia akan tetap
mendorong peningkatan pemakaian batubara. Malaysia Vietnam, Pakistan dan
Indonesia sedang menggenjot produksi listerik, dengan sumber energi utama batu
bara. Proyek itu diperlukan untuk memacu pembangunan infrastruktur dan
menunjang pertumbuhan ekonomi.
Batu bara nampaknya akan
tetap membara, minimal dalam kurun waktu satu dasawarsa..
Hasan Zein Mahmud/ Instruktur LP3M INVESTA
Telah dimuat di Investor Daily 11 Juli 2017
0 komentar:
Post a Comment
Mohon menulis komentar dengan bahasa yang baik tidak mengandung unsur sara, politik dan iklan.