18 Jul 2017

Dalam konsepsi saya selama ini, harga batu bara berkorelasi positif dengan harga minyak bumi. Saya yakin saya tidak sendiri. Pernah saya baca seorang pakar menyatakan bahwa harga minyak bumi (spot WTI di Nymex, New York Mercantile Exchange) per barrel, mendekati harga spot batu bara di Newcastle per ton dikurangi US$ 40.

Namun pengamatan selama dua bulan paling belakangan menjungkir balikkan konsepsi yang saya pelihara sekian lama. Harga batu bara dan minyak bumi, selama periode dua bulan belakangan, berkorelasi negatif, bergerak berlawanan arah. Harga batu bara naik justru pada saat harga minyak bumi turun, dan sebaliknya. Bahkan selama seminggu paling akhir, 3 – 7 Juli, ketika harga WTI turun 4,26% dari $ 47,07 per barrel (pb) pada 3 Juli menjadi $ 44,23 pb pada 7 juli, harga batu bara justeru naik terus menerus selama lima hari berturut turut, dan ditutup pada $ 82,55 per ton untuk kontak bulan berjalan (LQN17) di Newcastle.

Fakta itu juga menyadarkan saya bahwa minyak bumi bukan substitusi yang “dekat” dengan batu bara, terutama bila bicara kepentingan pembangkit listrik, yang hingga saat ini masih didominasi oleh penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Gas alam yang barangkali merupakan sustitusi lebih dekat terhadap batu bara, harganya juga tak berkorelasi positif dengan harga batu bara, setidaknya selama periode year to date (YTD). Mengganti sumber energi di suatu pembangkit, walau sesama energi fosil, nampaknya bukan suatu yang gampang dilakukan, baik secara teknis maupun ekonomis.

Dari hasil cuplik sana sini, saya berkesimpulan bahwa harga batu bara ditentukan oleh aktivitas sektor energi di tiga negara: India, USA dan Cina. Tiga negara itu menghasilkan 2/3 batu bara dunia, sekaligus konsumen terbesar dunia. Produksi ketiga negara itu 5M17 mencapai 121 juta ton, naik 6% year on year (YOY). Selama periode tersebut, produksi China naik 4%, bandingkan dengan penurunan produksi 8% selama periode yang sama tahun lalu. Kini 100 tambang kecil yang ditutup tahun lalu, sebagian dibuka kembali.

Batu bara memang selalu berhadapan dengan dilema. Pada satu sisi merupakan sumber energi terbesar bagi pengadaan listerik dunia, pada sisi lain menghadapi tekanan dari upaya pelestarian lingkungan, pengurangan emisi rumah kaca. Amerika Serikat, yang sebelum naiknya Trump mengkampanyekan gerakan coal war, kini nampaknya melonggarkan sikapnya. Bisa dilihat dari keluarnya AS dari Perjanjian Paris (Paris Climate Accord 2015). Sikap ini berpengaruh langsung terhadap produksi batu bara AS. Produksi negara ini selama lima bulan pertama 2017 naik 19%. Produksi di negara negara yang kaya batu bara seperti Wyoming, Pennsylvania dan West Virginia meningkat sangat tajam.

Walaupun terjadi pembalikan trend produksi batu bara di AS, namun dalam jangka panjang pengurangan produksi dan konsumsi batu bara pasti akan terjadi. Selain semakin banyak yang menantang kebijakan Trump, perusahaan utilitas yang telah menamkan dana utk mengembangkan energi alternatif tidak akan menghentikan upaya mereka untuk kembali ke batu bara.

China dan India juga merupakan importir. China sebagai konsumen terbesar,  menyedot  separo produksi batu bara dunia. Kalau program 35 Giga Watt (GW) di Indonesia, 25 GW akan berasal dari PLTU,  kondisi serupa terjadi di India.  Program electricity for the poor di India, menyasar 260 juta penduduk yang masih hidup tanpa listerik. Ditambah permintaan dari industri yang bertumbuh pesat, kebutuhan listerik di India sangat besar. Saat ini 70% pembangkit listerik di negara ini menggunakan batu bara. As far as India is concern, the use of coal in power plants will continue to grow.

China memainkan peran yang paling menentukan dalam gerakan harga batu bara. Untuk pembangkit tenaga listerik, batu bara masih merupakan sumber energi terbesar. Cina membutuhkan lebih dari 300 juta ton batu bara setiap kwartal. Sensitivitas harga batu bara terhadap situasi di China bisa disimak dari beberpa peristiwa mutakhir.

Ketika Cina menutup sebagian tambang tamnbang batu bara kecil serta melarang pelabuhan pelabuhan kecil, yang umumnya dikelola oleh provinsi, untuk menjadi pintu masuk impor batu bara, harga di   Newcastle dan Rotterdam pada hari berikutnya naik lebih dari 1%. Ketika Sungai Yangtze meluap di Cina Selatan, minggu lalu, menghancurkan 750.000 ha lahan pertanian di sepanjang aliran sungai, menghambat transportasi air, sebagian dari 14 GW hydropower berhenti beroperasi atau menurunkan kapasitasnya. Harga Newcastle naik hampir 3%! .

India dan China tetap mendukung Perjanjian Paris. Dua negara itu menghasilkan hampir separo emisi rumah kaca dari pembakaran batu bara. Namun mereka juga bertekad untuk menjadi pemimpin dalam memerangi perubahan iklim akibat emisi karbon dioksida. Cina mencanangkan tekadnya untuk menghentikan pengguanaan batu bara pada 2030.

Untuk membuktikan tekadnya, Cina kini memproklamirkan dirinya sebagai negara yang paling serius dalam mengembangkan energi terbarukan. Negara itu menyisihkan anggaran sebesar US$ 360 miliar hingga tahun 2020, untuk projek tersebut. Saat ini China menghasilkan 11 % energi yang berasal dari sumber daya non fosil.

China juga telah mengembangkan listrik tenaga surya. Proyek yang mereka sebut sebagai “proyek panda” – hamparan photovoltaics pada areal ratusan herktar mereka desain seperti panda – tersebut ditargetkan menghasilkan 3,2 miliar kilowatt per jam energi surya, satu dekade mendatang. Target tersebut sekaligus akan mengurangi penggunaan batu bara sekian juta ton dan mengurangi emisi karbon hingga 2,74 juta ton (the independent 7 Juli). Rencana itu menempatkan China sebagai produsen energi solar terbesar di dunia, mencapai 77,42 GW pada 2016, dengan target 110 GW pada 2020.

Upaya mengurangi ketergantungan sumber energi terhadap batu bara membutuhkan anggaran yang besar, upaya serius dan waktu yang panjang. Capaian spektakuler Cina dalam membangun listerik tenaga surya di tahun 2016 itu hanya mampu memasok 1% dari total kebutuhan listerik China. Sementara di bagian dunia lain, beberapa negara Asia akan tetap mendorong peningkatan pemakaian batubara. Malaysia Vietnam, Pakistan dan Indonesia sedang menggenjot produksi listerik, dengan sumber energi utama batu bara. Proyek itu diperlukan untuk memacu pembangunan infrastruktur dan menunjang pertumbuhan ekonomi.

Batu bara nampaknya akan tetap membara, minimal dalam kurun waktu satu dasawarsa..

Hasan Zein Mahmud/ Instruktur LP3M INVESTA

Telah dimuat di Investor Daily 11 Juli 2017


0 komentar:

Post a Comment

Mohon menulis komentar dengan bahasa yang baik tidak mengandung unsur sara, politik dan iklan.

Anda paling tertarik pada artikel apa ?

Flag Counter
Powered by Blogger.

.

.

.