24 Jul 2017



“Yang harus diadili itu kecurangan, jangan adili selera pasar” (hzm)

Boleh jadi Bursa Efek Indonesia (BEI) memang lagi “ketiban sial”. Selang beberapa hari setelah DGIK (PT. Nusa Konstruksi Injiniring Tbk) ditetapkan sebagai tersangka korupsi, kini giliran AISA (PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk) dinyatakan pemerintah mengoplos beras subsidi menjadi beras premium, melakukan miss-selling, mencurangi konsumen dengan menjual produk dengan kualitas lebih rendah dari yang tertera pada label kemasan.

Dalam kedua peristiwa itu, yang paling dirugikan adalah para pemegang saham ritel. Saham DGIK turun 31% sebelum dihentikan perdagangannya oleh BEI, pada hari Kamis minggu lalu. Saham AISA anjlok 25% pada hari Jum’at 21 Juli 2017, setelah pada malam sebelumnya Kapolri dan Mentan datang ke (baca: menggerebek) Gudang PT. Indo Beras Utama (IBU), anak perusahaan AISA, di Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat, menyegel gudang. Esok harinya Kemendag membekukan aktivitas IBU. Saham tersebut, akan turun lebih tajam seandainya tidak ada tanggul pembatas harga yang ditetapkan oleh BEI.

Bagaimana hukum dan keadilan akan memberikan perlindungan kepada pemegang saham ritel yang tidak berdosa, yang menjadi korban, atau dikorbankan “permainan politik tingkat tinggi”  ini, nanti kita simak dan saksikan bersama. Celetukan ini, seperti biasanya, hanya ingin mengajak masyarakat berakal sehat.

Dua peristiwa itu memuat banyak kontroversi dan menyulut polemik ramai dan panjang. Beras, di Indonesia, memang merupakan produk yang paling pelik dan paling rumit tata niaganya. Pertama, beras bukan sekedar produk ekonomis, dia juga produk sosial dan produk politik. Beras menyangkut hajat hidup orang banyak, bahkan tolok ukur kualitas hidup kaum marjinal, berperan penting dalam kalkulasi angka inflasi, komoditas politik yang bisa menentukan tegak runtuhnya sebuah kekuasaan.

Kedua, beras dihadapkan pada dilema yang pekat. Kalau harganya “terlalu” murah, maka sekian juta petani akan terpuruk dalam kemiskinan turun temurun. Kalau harganya terlalu mahal, sekian juta kaum marjinal tak mampu membeli beras. Pemerintah menginginkan harganya stabil, para pedagang perantara melihat potensi marjin keuntungan yang sangat lukratif dalam tata niaga. Karena berbagai kendala yang berlapis, lingkaran setan ini tak mampu ditembus.

Ketiga, tata niaga yang tidak tertata. Statistik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa petani memperoleh rata-rata 73% dari harga yang dibayar konsumen akhir. Di Indonesia, petani padi hanya memperoleh kurang dari 40% dari harga yang dibayar konsumen akhir. Akibatnya ya itu tadi, petani tetap tinggal gurem, rakyat marjinal makan nasi aking, para pedagang perantara berkipas kipas dengan marjin keuntungan yang “wah”. Kalau pemerintah mau stabilitas, tugaskan Bulog masuk secara total dalam tata-niaga beras, mulai dari membeli gabah petani sampai distribusi ke konsumen rumah tangga. Targetnya jelas: intermediaries cost ditekan serendah rendahnya, sehingga petani mendapat marjin hasil yang  lebih tinggi dan masyarakat marjinal dapat membeli beras dengan harga yang lebih terjangkau. Bulog tidak mau dan tidak mampu. Pemerintah tidak memiliki buffer funds yang cukup untuk misi semacam itu.

Kasus AISA, menurut hemat saya, merupakan produk dari kerumitan persoalan beras. Kekacauan persepsi dari berbagai pihak tentang bagaimana tata niaga beras hendak diatur. Saya hanya memiliki informasi dari media massa tentang peristiwa itu.   Dan saya ingin membuat beberapa catatan berdasar infoormasi yang terbatas itu.

Tuduhan  pertama yang terlontar kepada AISA adalah membeli beras subsidi dengan harga murah, untuk kemudian dikemas dalam kemasan yang diberi label sebagai beras premium dan dijual dengan harga tinggi. Pertanyaan spontan yang muncul di kepala saya adalah: Mengapa beras subsidi yang ditujukan untuk orang orang yang berhak menerima subsidi bisa dijual ke perusahaan? Siapa penjual dan pengedarnya? Mengambil analogi narkotika, bukankah pengedar melakukan pelanggaran yang lebih besar ketimbang pemakai? Mengapa penjual / pengedar itu tidak ditangkap?

Saya sdudah membaca tanggapan resmi yang dikeluarkan oleh manajemen AISA dalam suratnya kepada BEI tanggal 21 Juli 2017,  yang menyatakan bahwa dalam memproduksi beras berlabel, IBU membeli gabah dari petani dan beras dari mitra penggilingan lokal dan sama sekali tidak membeli atau menggunakan beras subsidi yang ditujukan untuk program Beras Sejahtera BULOG atau bentuk bantuan bencana lainnya

Pertanyaan kedua: Apa betul beras itu sekedar ganti kemasan, atau mengalami proses lebih lanjut, semisal penyortiran, pencampuran, pemolesan, pemutihan, pemberian pewangi, dll? Upaya meningkatkan nilai adalah esensi kegiatan produksi. Proses semacam itu membutuhkan investasi dan biaya. Untuk menilai apakah IBU  & AISA mengambil marjin keuntungan terlalu tinggi memerlukan kajian terhadap biaya yang dikeluarkan dalam proses penambahan nilai tersebut. Dari segi pisik saja (tanpa mempersoalkan komposisi kimiawi) beras yang bagus itu tentu  rasanya enak, pulen, putih tanpa polesan kimia, berbau harum, tidak patah apalagi hancur dan tidak mudah basi. Berapa investasi dan biaya yang dikeluarkan untuk proses demikian itu?

Yang harus menjadi juri dalam menentukan apakah suatu produk yang diperdagangkan kemahalan atau kemurahan adalah konsumen!. Kapolri dan Mentan tidak berhak mewakili konsumen untuk menyatakan beras premium itu kemahalan. Menyangkut urusan selera, apalagi indera pengecap, tidak mungkin ada kecurangan yang bertahan sekian lama. Kalau kita masuk ke restoran lalu dihidangkan nasi yang tidak enak, maka tidak akan ada kunjungan kedua ke restoran tersebut. Apalagi beras Ayam Jago dan Maknyus, Juni lalu meraih penghargaan superbrand. Penghargaan seperti itu, tentu sangat mempertimbangkan opini konsumen, kecuali penghargaan itu cuma sekedar “ecek-ecek”.

Beras premium itu beredar terbatas di kalangan “konsumen premium” pula. Oleh karena itu pernyataan bahwa pengoplosan beras dimotivasi oleh keinginan melemahkan ketahanan bangsa, selain terlalu jauh, juga sangat berbahaya.

Kabareskrim Polri kemudian melontarkan dua tuduhan. Pertama IBU membeli gabah dari petani pada harga lebih mahal dari HPP Rp 3.700, per kg, dan itu merupakan pelanggaran (Kompas.com 21 Juli 2017 pukul 18.13). Statement ini membuat persoalan menjadi semakin blur dan akal sehat menjadi sakit. Tuduhan awal, IBU membeli beras subsidi entah dari siapa, lalu sekarang tuduhan membeli gabah terlalu mahal. Masa sih polisi tidak tahu perbedaan antara beras dan gabah? Lalu HPP itu tujuannya agar petani mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Kalau ada pengusaha yang bersedia membeli pada harga yang lebih tinggi dari HPP, seharusnya pemerintah berterima kasih. Kalau banyak pengusaha seperti IBU, maka ketentuan HPP tidak lagi diperlukan.

Tuduhan lain lagi terkait perbedaan komposisi kandungan protein, lemak dan kimiawi lain dalam “beras premium” dengan yang tertera pada karung kemasan. Persoalan mudah yang  bisa diselesaikan dengan menunjuk assayer independen untuk megujinya. Kalau memang terbukti terjadi perbedaan yang signifikan, manajemen IBU sangat pantas menerima ganjaran, tanpa perlu menghentikan aktivitas perusahaan. Menghukum pelanggaran tidak harus dilakukan dengan mengerdilkan aktivitas ekonomi.


Kita tak akan membuat jernih air dengan cara mengaduk aduknya

Hasan Zein Mahmud, Instruktur pada LP3M INVESTA

0 komentar:

Post a Comment

Mohon menulis komentar dengan bahasa yang baik tidak mengandung unsur sara, politik dan iklan.

Anda paling tertarik pada artikel apa ?

Flag Counter
Powered by Blogger.

.

.

.