6 Jun 2017


Setelah senyap selama lima tahun, kini wacana redenominasi rupiah kembali menghangat. Bank Indonesia ternyata masih menyimpan gagasan yang hampir sewindu itu di dalam freezer, dan kini memanggangnya kembali dalam oven untuk sekali lagi dihidangkan menjadi menu publik. Beberapa saat lalu Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa kini saat yang tepat untuk merealisasikan gagasan redenominasi, mengingat kondisi makro yang bagus, pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan inflasi yang rendah. 

Beliau mengatakan bahwa sudah ada rancangan undang-undang redenominasi mata uang ke dalam Prolegnas 2017. Motif yang mengemuka di balik dikeluarkannya kembali gagasan itu dari laci, karena konon redenominasi akan mengangkat citra Rupiah dan dengan demikian “gengsi” negara. Benarkah demikian? Is it all worth it?

Saya berada di barisan yang hingga saat ini meyakini bahwa redenominasi adalah perbuatan sia sia. Pertama mudharatnya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya. Kedua, redenominasi tidak lebih dari polesan yang akan segera luntur bila tidak didukung oleh perbaikan ekonomi fundamental. Lalu kalau betul fundemental ekonomi Indonesia baik dan kuat, pelan dan pasti rupiah akan menguat. Kenapa kita menghabiskan energi untuk hal yang sia sia?

Lima tahun lalu, ketika wacana redenominasi berhembus kencang, saya menulis sebuah artikel di Kolom ini, dan merancang seminar nasional di Kampus Kwik Kian Gie School of Business. Sejak itu, wacana itu melemah dan hilang. Dengan menghangatnya kembali wacana redenominasi, saat ini,  saya juga ingin menghangatkan kembali beberapa argumen yang dulu pernah saya kemukakan.

Sekedar ilustrasi awal, saya ingin mengingatkan tentang dua kasus redenominasi yang banyak ditulis sebagai paling sukses. Pada Januari 2005 Turki menggantikan Lira lama dengan Lira baru dengan menghapus enam angka nol, artinya satu juta Lira lama menjadi satu Lira baru. Pada Juli, tahun yang sama, Rumania menghapus empat angka nol dalam mata uangnya. Hasil konkrit? Pakar sepakat bahwa Redenominasi mengandung pengakuan bahwa ada kebijakan ekonomi yang salah di masa lalu, (yang diharapkan bisa berlalu)“....redenomination would send a signal to citizens, as well as to the international community, that economic policymistakes were in the past (Layna Mosley, 2005)


Zimbabwe, yang pernah menerbitkan uang kertas dengan denominasi satu miliar, berusaha keras untuk mengembalikan citranya melalui redenominasi yang dilakukan berulang ulang. Dan gagal seperti dongeng Sysphus. Cohen (2004)  menggambarkannya dengan dramatis: “Currency redenomination also can be a means by which governments attempt to reassert monetary sovereignty. If citizens lose confidencein the national currency, they may begin to use foreign currencies, particularly those with greater prestige. This may be both a psychological and an economic blow to the government: with widespread foreign currency substitution (or, more extremely, full dollarization), the central bank no longer controlsthe money supply, rendering itunable to provide lender of lastresort functions” 

Dalam benak saya, manfaat yang akan diperoleh dari redenominasi tidak lebih dari manfaat administratif yang sangat minor dan trivial, seperti: dompet orang Indonesia akan lebih tipis, (joke: para koruptor tak perlu repot menggunakan uang dolar dalam tas sogokan), kalkulasi transaksi dalam rupiah akan lebih sederhana, daftar tarif di tempat tempat belanja seperti mal, restoran dan hotel menjadi lebih pendek dan penyajian laporan keuangan menghemat spasi sekian digit. Daftar manfaat semacam itu nilainya jauh lebih kecil ketimbang biaya pencetakan uang baru, biaya sosialisasi dan biaya legislasi. Manfaat minor itupun hanya akan bersifat sementara, karena rupiah, seperti takdir yang ditunjukkannya sepanjang sejarah, akan kembali layu pada periode berikutnya.

Misalkan redenominasi dilakukan dengan menghapus 3 nol di lembaran Rupiah. Artinya Rp 1.000 Rupiah lama akan ditukar dengan Rp 1 rupiah baru. Untuk melukiskan persoalan, yang akan timbul, saya ingin mengambil beberapa contoh imajiner, di sektor keuangan, yang pasti akan terjadi  ketika redenominasi itu dilaksanakan:

1.      Saham saham dengan harga Rp 50 di BEI kini harus ditulis dengan Rp 0,05. Lebih mudah? Belum lagi fraksi harga Rp 1 harus ditulis dengan Rp 0,001

2.      Semua Anggaran Dasar Perusahaan Tbk harus diubah.

3.      Kompatabilitas laporan laporan yang menyangkut nilai rupiah dengan laporan periode sebelumnya menjadi rumit. Ini baru menyangkut penyajian, analisis tentu akan lebih rumit.

4.      Kontrak kontrak bisnis yang masih berjalan yang dinyatakan dalam nilai rupiah harus direview ulang

5.      Penyesuaian dalam transaksi on line perbankan akan menyulitkan dan perbaikannya membutuhkan waktu cukup lama dan mahal.

6.      Pergantian uang kertas dan koin lama dengan uang kertas dan koin baru akan berjalan bertahun tahun karena pengeluaran uang baru harus diikuti dengan penarikan uang lama agar tidak terjadi inflasi. Selama periode itu, transaksi akan menggunakan dua satuan mata uang, dan tiap orang, boleh jadi, harus memiliki dua dompet.

7.      Para pedagang selama masa transisi harus memasang double price tags. Di Pasar modern mungkin bisa dilakukan. Di pasar becek?

8.      Sosialisasi juga harus intens kepada rekanan bisnis di luar negeri agar transaksi lintas Negara tidak terhambat.

Apa yang sebenarnya ingin kita capai? Agar rupiah terlihat gagah dan merasa setara dengan ekonomi regional yang lebih maju? Bagi saya, ini argument yang implausible. Di luar tujuan penyatuan mata uang dalam kasus zona Euro, redenominasi dilakukan dengan hanya satu alasan: inflasi atau hiperinflasi, seperti yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965, Peru tahun 1994, Turki tahun 2005 dan Zimbabwe beberapa kali terakhir tahun 2009.Empiris membuktikan bahwa banyak tindakan redenominasi, kemudian diikuiti oleh inflasi yang tinggi lagi. Kita tentu masih bisa melihat kilas balik betapa tingginya inflasi Indonesia di tahun 1965 dan 1966.

Jelas redenominasi tidak indentik dengan penguatan Rupiah. Dalam benak saya kunci penguatan Rupiah nya hanya satu: Perbaikan fundamental ekonomi. Perbaikan infrastruktur, peningkatan penguasaan teknologi, Perbaikan kualitas sumber daya manusia dan bersihkan ekonomi dari kebocoran dan inefisiensi. Daya saing pasti meningkat!. Peningkatan daya saing akan meningkatkan pangsa pasar kita dalam transaksi internasional. Cadangan devisa akan naik dan rupiah tentu menguat, walau tentu tidak terjadi hanya dalam satu malam.....


(Telah diterbitkan di Kolom INVESTOR DAILY senin, 5 Juni 2017)

Hasan Zein Mahmud
Investor saham, Instruktur pada LP3M INVESTA

0 komentar:

Post a Comment

Mohon menulis komentar dengan bahasa yang baik tidak mengandung unsur sara, politik dan iklan.

Anda paling tertarik pada artikel apa ?

Flag Counter
Powered by Blogger.

.

.

.