Setelah senyap selama lima tahun,
kini wacana redenominasi rupiah kembali menghangat. Bank Indonesia ternyata
masih menyimpan gagasan yang hampir sewindu itu di dalam freezer, dan kini
memanggangnya kembali dalam oven untuk sekali lagi dihidangkan menjadi menu publik.
Beberapa saat lalu Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa kini saat yang
tepat untuk merealisasikan gagasan redenominasi, mengingat kondisi makro yang
bagus, pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan inflasi yang rendah.
Beliau
mengatakan bahwa sudah
ada rancangan undang-undang redenominasi mata uang ke dalam Prolegnas 2017. Motif
yang mengemuka di balik dikeluarkannya kembali gagasan itu dari laci, karena konon
redenominasi akan mengangkat citra Rupiah dan dengan demikian “gengsi” negara.
Benarkah demikian? Is it all worth it?
Saya berada di barisan yang
hingga saat ini meyakini bahwa redenominasi adalah perbuatan sia sia. Pertama
mudharatnya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya. Kedua, redenominasi tidak
lebih dari polesan yang akan segera luntur bila tidak didukung oleh perbaikan
ekonomi fundamental. Lalu kalau betul fundemental ekonomi Indonesia baik dan
kuat, pelan dan pasti rupiah akan menguat. Kenapa kita menghabiskan energi
untuk hal yang sia sia?
Lima tahun lalu, ketika wacana
redenominasi berhembus kencang, saya menulis sebuah artikel di Kolom ini, dan
merancang seminar nasional di Kampus Kwik Kian Gie School of Business. Sejak
itu, wacana itu melemah dan hilang. Dengan menghangatnya kembali wacana
redenominasi, saat ini, saya juga ingin
menghangatkan kembali beberapa argumen yang dulu pernah saya kemukakan.
Sekedar ilustrasi awal, saya ingin mengingatkan
tentang dua kasus redenominasi yang banyak ditulis sebagai paling sukses. Pada
Januari 2005 Turki menggantikan Lira lama dengan Lira baru dengan menghapus
enam angka nol, artinya satu juta Lira lama menjadi satu Lira baru. Pada Juli,
tahun yang sama, Rumania menghapus empat angka nol dalam mata uangnya. Hasil
konkrit? Pakar sepakat bahwa Redenominasi mengandung pengakuan bahwa ada
kebijakan ekonomi yang salah di masa lalu, (yang diharapkan bisa berlalu)“....redenomination would send a signal to
citizens, as well as to the international community, that economic policymistakes were in the past” (Layna Mosley, 2005)
Zimbabwe, yang pernah menerbitkan uang kertas
dengan denominasi satu miliar, berusaha keras untuk mengembalikan citranya
melalui redenominasi yang dilakukan berulang ulang. Dan gagal seperti dongeng
Sysphus. Cohen (2004) menggambarkannya
dengan dramatis: “Currency redenomination
also can be a means by which governments attempt to reassert monetary
sovereignty. If citizens lose confidencein the national currency, they may
begin to use foreign currencies, particularly those with greater prestige. This
may be both a psychological and an economic blow to the government: with widespread
foreign currency substitution (or, more extremely, full dollarization), the
central bank no longer controlsthe money supply, rendering itunable to provide
lender of lastresort functions”
Dalam benak saya, manfaat yang akan diperoleh dari redenominasi tidak lebih dari manfaat
administratif
yang sangat minor dan trivial,
seperti: dompet orang Indonesia akan lebih tipis, (joke: para
koruptor tak perlu repot menggunakan uang dolar dalam tas sogokan), kalkulasi transaksi dalam rupiah akan
lebih sederhana, daftar tarif di tempat tempat belanja seperti mal, restoran
dan hotel menjadi lebih pendek dan penyajian laporan keuangan menghemat spasi sekian digit. Daftar manfaat semacam itu
nilainya jauh lebih kecil ketimbang biaya pencetakan uang baru, biaya sosialisasi dan
biaya legislasi. Manfaat minor itupun hanya akan bersifat sementara, karena
rupiah, seperti takdir yang ditunjukkannya sepanjang sejarah, akan kembali layu
pada periode berikutnya.
Misalkan redenominasi dilakukan
dengan menghapus 3 nol di lembaran Rupiah. Artinya Rp 1.000 Rupiah lama akan
ditukar dengan Rp 1 rupiah baru. Untuk melukiskan persoalan, yang akan timbul,
saya ingin mengambil beberapa contoh imajiner, di sektor keuangan, yang pasti
akan terjadi ketika redenominasi itu
dilaksanakan:
1. Saham saham dengan harga Rp 50 di BEI
kini harus ditulis dengan Rp 0,05. Lebih mudah? Belum lagi fraksi harga Rp 1
harus ditulis dengan Rp 0,001
2.
Semua Anggaran Dasar Perusahaan Tbk
harus diubah.
3.
Kompatabilitas
laporan laporan yang menyangkut nilai rupiah dengan laporan periode sebelumnya
menjadi rumit. Ini baru menyangkut penyajian, analisis tentu akan
lebih rumit.
4.
Kontrak
kontrak bisnis yang masih berjalan yang dinyatakan dalam nilai rupiah harus
direview ulang
5.
Penyesuaian
dalam transaksi on line perbankan akan menyulitkan dan perbaikannya membutuhkan
waktu cukup lama dan mahal.
6.
Pergantian
uang kertas dan koin lama dengan uang kertas dan koin baru akan berjalan
bertahun tahun karena pengeluaran uang baru harus diikuti dengan penarikan uang
lama agar tidak terjadi inflasi. Selama periode itu, transaksi akan menggunakan
dua satuan mata uang, dan tiap orang, boleh jadi, harus memiliki
dua dompet.
7.
Para pedagang selama masa transisi harus
memasang double price tags. Di Pasar modern mungkin bisa dilakukan. Di pasar
becek?
8.
Sosialisasi
juga harus intens kepada rekanan bisnis di luar negeri agar transaksi lintas
Negara tidak terhambat.
Apa yang sebenarnya ingin kita capai? Agar rupiah terlihat gagah dan
merasa setara dengan ekonomi regional yang lebih maju? Bagi saya, ini argument
yang implausible. Di luar tujuan
penyatuan mata uang dalam kasus zona Euro, redenominasi dilakukan dengan hanya
satu alasan: inflasi atau hiperinflasi, seperti yang dilakukan Indonesia pada
tahun 1965, Peru tahun 1994, Turki tahun 2005 dan Zimbabwe beberapa kali
terakhir tahun 2009.Empiris membuktikan bahwa banyak tindakan redenominasi, kemudian
diikuiti oleh inflasi yang tinggi lagi. Kita tentu masih bisa melihat
kilas balik betapa tingginya inflasi Indonesia di tahun 1965 dan 1966.
Jelas redenominasi tidak indentik
dengan penguatan Rupiah. Dalam benak saya kunci penguatan Rupiah nya hanya
satu: Perbaikan fundamental ekonomi. Perbaikan infrastruktur, peningkatan
penguasaan teknologi, Perbaikan kualitas sumber daya manusia dan bersihkan
ekonomi dari kebocoran dan inefisiensi. Daya saing pasti meningkat!. Peningkatan
daya saing akan meningkatkan pangsa pasar kita dalam transaksi internasional.
Cadangan devisa akan naik dan rupiah tentu menguat, walau tentu tidak terjadi
hanya dalam satu malam.....
(Telah diterbitkan di Kolom INVESTOR DAILY senin, 5 Juni 2017)
Hasan Zein Mahmud
Investor saham,
Instruktur pada LP3M INVESTA
0 komentar:
Post a Comment
Mohon menulis komentar dengan bahasa yang baik tidak mengandung unsur sara, politik dan iklan.