Ternyata tak semua orang menyukai banyak hari libur.
Sebagian besar hari libur di negara negara Asia berkaitan dengan hari besar
keagamaan, lalu disusul oleh peristiwa kenegaraan dan politik. Yang dimaksud
hari libur dalam ocehan ringan ini adalah hari libur di luar libur akhir pekan
(Sabtu dan Minggu).
Oleh sebab itu semakin banyak jumlah agama yang diakui negara, akan semakin banyak pula jumlah libur nasionalnya. Konon, negara dengan hari libur terbanyak dimiliki olerh Sri Lanka. Hari libur di Sri Lanka sebagian besar terkait dengan agama Budha. Poya Day adalah hari libur setiap bulan ketika rembulan mencapai purnama penuh. Di samping itu, seperti Indonesia, liburan dalam rangka menghormati pemeluk agama Hindu, Islam, Ktristen dan Katholik.
Oleh sebab itu semakin banyak jumlah agama yang diakui negara, akan semakin banyak pula jumlah libur nasionalnya. Konon, negara dengan hari libur terbanyak dimiliki olerh Sri Lanka. Hari libur di Sri Lanka sebagian besar terkait dengan agama Budha. Poya Day adalah hari libur setiap bulan ketika rembulan mencapai purnama penuh. Di samping itu, seperti Indonesia, liburan dalam rangka menghormati pemeluk agama Hindu, Islam, Ktristen dan Katholik.
Negara berikutnya adalah India, walaupun sebagian hari
libur itu bersifat lokal di negara bagian. Sebut misalnya Diwali, Maha Shivratri, Guru Nanak Jayanti, Vaisakhi, Eid
ul-Fitr, Muharram, and Christmas. Hari kelahiran Mahatma Gandhi, 2 Oktober,
merupakan hari libur nasional. Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa mengadopsi
kebijakan kalau hari libur jatuh pada hari Sabtu atau Minggu, maka mereka akan
meliburkan hari kerja berikutnya.
Indonesia tidak memiliki kebijakan seperti Amerika
Serikat dan Eropa. Oleh sebab itu para pekerja merasa getun setiap hari libur
jatuh bersamaan pada hari Sabtu atau Minggu. Tapi Indonesia memiliki kebijakan
“cuti bersama” yang awalnya ditujukan bagi para aparatur sipil negara, tapi
ternyata juga diikuti oleh organisasi swasta. Selain itu ada kebijakan “hari
libur politik”, semisal pemilu legislatif dan pemilu Presiden yang menjadi
libur nasional dan pemilukada yang pada sebagian daerah menjadi hari libur
regional.
Saya tidak tahu Indonesia berada di peringkat berapa
dalam jumlah hari libur. Kalau cuti bersama dan libur politik masuk hitungan,
sangat boleh jadi Indonesia akan menggantikan posisi Sri Lanka sebagai negara
dengan hari libur paling banyak. Bulan bulan April, Mei dan Juni, tahun ini,
merupakan bulan bulan dengan libur paling banyak. Di Bulan April lalu ada dua
long week ends, plus pemilihan Gubernur di Jakarta, Bulan Mei ada tiga hari
libur, dan Juni ada dua hari libur ditambah dengan cuti bersama paling panjang.
Nah, para pialang di Bursa Efek Indonesia berada di
posisi vulnerable terhadap hari
libur. Jumlah hari liburan yang banyak itu menggigit mereka dari dua arah,
pertama jumlah hari perdagangan menciut, dan nilai transaksi reguler pun
mengecil. Maklumlah transaksi besar dilakukan oelh investor instirusi dan
inevestor perorangan tajir, yang
umumnya mengurangi aktivitas pada hari hari menjelang dan sesudah long week
ends. Yang juga mengeluh adalah para traders, yang menangguk cuan dari
transaksi intra-day. Hari libur
indentik dengan berhenti perburuan cuan harian.
Hari raya Idul Fitri boleh jadi merupakan liburan
paling meriah di Indonesia, mengingat penduduk muslim yang sangat besar. Dari
kacamata pengeluaran, peningkatan belanja rumah tangga sudah dimulai menjelang
datangnya bulan puasa. Agak ironi memang! Ketika pada bulan suci kita dihimbau
untuk menahan diri – termasuk menahan syahwat konsumerisme – masyarakat justru
lebih getol berbelanja, termasuk bila perlu berhutang dan menggadaikan barang. Perum
Pegadaian mencatat kenaikan omset 10 – 15% setiap kali datang bulan puasa.
Mari kita lihat beberapa indikator. Bank Indonesia
mencatat, pertumbuhan uang beredar rata rata selama bulan puasa naik 15% dalam
periode 10 tahun terkahir. Penelitian Tirto.id, yang dilakukan di Jakarta tahun
2016 menyimpulkan antara lain: “mayoritas kaum
muda Jakarta mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp 1 juta – Rp 3 juta selama
Ramadan dan mereka mengalokasikasi 10-20 % dari pendapatan mereka untuk buka
bersama”. BPS merupakan saksi tertulis bahwa inflasi selalu
meningkat di bulan Ramadhan.
Fenomena Ramadhan dimanfaatkan dengan baik, sebagai
peluang, oleh pelaku bisnis. Sektor konsumsi dan ritel mempersdiapkan diri
sebaik baik dan seindah indahnya menjelang Ramadhan. Sektor infrastruktur
berpacu siang dan malam menyongsong ritual mudik tahunan. Sektor transportasi,
darat laut udara, nyaris tak pernah mampu mengejar peningkatan permintaan
menjelang pesta lebaran. Periode dua minggu yang sangat populer dengan H -7
sampai H + 7 merupakan puncak mobilisasi manusia Indonesia.
Sekedar ilustrasi saya mengamati selintas beberapa
emiten sektor ritel, PT. Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS), PT. Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) dan PT.
Mitra AdiperkasaTbk (MAPI). Persaingan di sektor ini memang semakin tajam.
Karena itu mereka melakukan dua orientasi bisnis. Pertama mempertajam
segmentasi pelanggan dan kedua, selain memacu laju ekspansi gerai, terutama di
Jawa, mereka kembali memberi titik tekan pada peningkatan penjualan pada gerai
yang ada (same store sales growth, SSSG). Pengamatan selintas dalam periode
yang cukup panjang menunjukkan bahwa penjualan RALS bertumpu pada bulan puasa –
lebaran, sermentara MAPI penjualan lebih meningkat menelang Natal dan tahun
baru. ACES relatif lebih stabil walaupun Natal dan tahun baru mencatat rata
rata penjualan yang lebih tinggi. Gejala ini sekaligus menunjukkan segmentasi
pelanggan yang berbeda yang mereka bidik.
MAPI misalnya, untuk tahun 2017 ini, menganggarkan
capex sebesar Rp 750 miliar untuk membuka 200 gerai baru dan memperluas toko
sebanyak 70.000 m2 guna meraih target penjualan sebesar Rp 15,9 Triliun
kenaikan, 13% dari tahun lalu, termasuk konstribusi SSSG sebesar 5%. Puasa dan
lebaran juga menjadi perhatian MAPI dengan memasang target perolehan pendapatan
50% pada semester pertama, karena puasa dan lebaran tahun ini jatuh pada
semester pertama.
ACES memiliki strategi mendekati hunian baru. Maklum
kinerja ACES berkorelasi sangat erat
dengan kebangkitan kembali sektor properti. Perusahaan ini menganggarkan capex Rp 300 miliar untuk membuka 15 gerai baru,
yang bersmaan dengan perluasan gerai yang sudah ada akan menambah luas toko
sebesar 26.000 m2. Dengan ekspansi itu, ACES menargetkan peningkatan pendapatan
sebesar 7% tahun ini mencapai Rp 5,41 triliun, termasuk sumbangan SSSG sebesar
3%.
Bagi RALS bulan puasa dan lebaran merupakan periode
yang sangat penting. Momen puasa dan lebaran menyumbang rata rata 42% dari
pendapatan tahunan RALS. Selama dua bulan pertama 2017, penjualan ritel menurun
cukup tajam, 20%. Walaupun penjualan Maret mulai naik, namun penjualan total
1Q17 bertumbuh negatif. Menjelang puasa, penjualan April mulai meningkat tipis
sebesar 0,2% YoY. Begitu pentingnya saat puasa dan lebaran bagi RALS, sehingga
kenaikan penjualan selama puasa dan lebaran, bila dibandingkan dengan penjualan
puasa dan lebaran tahun sebelumnya, dapat menjadi indikator apakah penjualan
tahun berjalan akan meningkat atau menurun.
Tahun ini RALS membidik pertumbuhan pendapatan 8%
untuk meraih Rp 6,37 triliun. Untuk mencapai target tersebut, RALS
menganggarkan capex Rp 400 miliar dengan menambah gerai baru. Sampai April
tahun ini RALS telah membuka 4 gerai baru dan menutup satu gerai lama atas
pertimbangan efisiensi. Yang menonjol pada RALS adalah penerapan konsep SPAR
dengan memperluas toko, mengubuah product mix dengan memasukkan lebih banyak
pakaian dan asesoris, dan memperbaiki strategi marketing. Dengan konsep baru
itu, perusahaan menargetkan SSSG yang lebih tinggi....
(Telah dipublikasi di Tabloid Investor Daily 30 Mei 2017)
Hasan Zein Mahmud
Investor saham, instruktur pada LP3M INVESTA